Rabu, 27 Januari 2010

MENUNGGU PAGI

Cemas mencekap ketika air jatuh sebagai gerimis. Ketakutan dialami dia yang sendiri di pinggir kota. Ketakutan adalah ruang hampa dalam hatinya, sedangkan malam melukis kelamnya malam dihatinya.

Dia bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang teman yang masih tersisa, ia masih memahat dendam kosong pada batu. Ia memaki malam yang tak kunjung usai. Ia membenci malam sejak ia kehilangan segalanya. Ia sendirian, bila ayah dan bunda tak ada lalu harus berharap pada siapa? Ia hanya bisa berharap ada iba yang jatuh di telapak tangannya. Bila biasa ia berkata, bukan ia tak cinta bunda yang telah melahirkannya kedunia. Tapi mengapa sejak nafas ia minta pada Tuhan hanya memberi luka? Telapak tangan kanannya ia buka lebar-lebar, matanya melotot besar karena lapar. Hatinya selalu saja berharap cemas, adakah iba yang bisa ia makan hari ini?
Pengemis itu ingin berbunyi dari malam, ia benci pada malam yang merebut rejekinya. Tapi siapa yang mau peduli? Mungkin ia terlalu naif untuk bekerja, atau kitalah yang terlalu naif padanya? Tangan-tangan kotor itu selalu selalu saja kita anggap merusak pemandangan kota ini. Padahal mereka juga manusia, sama seperti kita. Apa alasannya kita selalu memaki mereka? Sengaja mereka ku jadikan teman, aku tersadar mereka mengemis bukan karena cinta tapi waktu yang telah memperbudak mereka.

Awal yang tanpa rekayasa, pada setiap kesempatan kujatuhkan iba pada tangan pengemis tua yang tubuhnya penuh luka itu. Pada satu kesempatan aku melintasinya dengan terburu-buru, “Emm… Mau pergi kemana Mas?” ia menyapa ku. Aku berhenti sejenak dan kembali padanya, lalu menjatuhkan iba pada tangannya, kupikir ia hanya ingin mengingatkanku hari ini. Lalu pada hari-hari biasa aku kembali melintasi pengemis tua itu, tapi tanganku penuh dengan beban yang harus kubawa. Seorang anak kecil menarik celanaku menawarkan bantuan, aku menolak tapi anak itu menunjuk pengemis tua di pinggir jalan, anak itu berkata “Bapak bilang saya harus membantu membawa barang-barang mas”. Aku tertegun, kutoleh pengemis tua itu dan tersenyum sambil mengangguk meniyakan.
Pada hari libur sengaja kucari pengemis tua itu, ku bawakan beberapa bungkusan nasi. Ia sangat gembira menerima kedatanganku, atau mungkin karena nasi bungkus ditanganku. Bapak tua dan anak kecil itu buru-buru melahap nasi bungkus itu, sambil mengunyah mereka sibuk mengucapkan terima kasih. Aku tertegun melihat keadaan di depanku, sebahagia itukah mereka menghargai setiap butir nasi? “Bapak terakhir makan waktu sore dua hari yang lalu” ia mulai bercerita, “Anak kecil ini bukan anak anak bapak tapi dia biasanya mengurus bapak, karena tangan dan kaki bapak lumpuh. Bahka terkadang, anak ini yang berbagi nasi dengan bapak” Pikirku, anak sekecil itu sudah ingin bertanggung jawab kepada orang lain, lalu kuberi bebrapa lembar uang ribuan dan ia menerimnya dengan girang dan anak itu langsung lari memasuki pasar di belokan jalan, mungkin ada mimpi yang ingin ia beli dipasar.

Begitulah waktu menetaskan luka di hati mereka yang hidup mengharap iba dari kita, pengemis tua itu bilang jika cuaca cerah banyak orang yang lalu-lalang maka cukup ada iba yang bisa mereka makan, tapi bila ada hujan maka mereka hanya bisa meminum air yang jatuh ditelapak tangan, sia-sia. Aku bertanya pada pengemis tua itu “Apa yang bapak lakukan jika Tuhan menawarkan satu permohonan?” Pengemis itu menjawab “Semoga Tuhan menghapus malam, setidaknya ada yang peduli pada nasib kami, karena bila malam datang maka tak seorangpun bisa memperdulikan kami yang mengiba”

Aku pulang kerumah tanpa bisa berkata apa-apa, sebelum tidur kutulis kalimat di selembar kertas. Mengapa Tuhan tak menghapus malam?, lalu kulipat kertas itu dan kutaruh dibawah bantal, lalu kujemput mimpi yang terpaksa.

Aku kembali berjalan didepan mereka, tapi mengapa pengemis tua itu tak ada, dimana pengemis tua dan seorang anak kecil itu? Kucari wajah mereka diantara ratusan wajah. Tapi wajah-wajah yang ada didepanku adalah wajah-wajah lain, mereka adalah para tetangga kaya yang tinggal didekat rumahku? Mereka menangis sambil berkata “ Mengapa Tuhan tak menghapus malam? Mengapa Tuhan tak menghapus malam? Mengapa Tuhan tak menghapus malam…?” mereka terus mengeluh dan mengulang-ulang pertanyaan yang sama, Arrrrggggggghhhhhh…………!!!! Aku pusing !!!

Aku terbangun dari mimpi setelah cahaya mentari menerobos mataku. “Wah untung hanya mimpi” Aku bangkit dari tempat tidur dan buru-buru mandi, siang hari, aku pergi membeli beberapa nasi bungkus dan beberapa kilo buah-buahan lalu naik angkot menuju ke arah pasar untuk mengunjungi pengemis tua dan anak kecil itu. Aku tertegun sendiri diantara keramaian kota yang besar ini, mataku liar mencari dua orang pengemis itu, dimana? Aku menyusuri jalan kota memasuki pasar, melewati jembatan penyeberangan,aku mencari dan terus mencari. Tapi aku hanya mendapat lelah, hari ini terasa sepi. Lama aku berdiri di jembatan penyeberangan sambil kutatap langit diam-diam aku bersyukur walau aku tak lebih tinggi dari hidup orang lain setidaknya aku tahu bahwa masih ada yang lebih butuh dari aku. Tapi dimana mereka saat ini? Aku melanjutkan lagi pencarianku, tapi yang kudapat hanyalah sia-sia. Kuletakkan bungkusan nasi dan buah itu ditempat biasa pengemis tua itu duduk mengharap iba. Akh, apa yang terjadi pada mereka?

Mungkin kita akan bertukar posisi dengan mereka? Saat kita butakan mata tanpa melihat kebawah pada mata mereka yang mengiba. Tak ada yang tak mungkin bagi Tuhan, mungkin besok atau lusasalah satu dari kita akan duduk dipinggiran kota menggantikan mereka bermandi gerimis dan tak seorang tahu saat kita menangis dan mengiba. Dan mereka yang pernah kita umpat dengan kata-kata kasar akan menggantikan posisi kita, duduk dirumah yang besar dan ber-AC, tidur di kasur yang empuk, menonton televisi yang besar. Siapa diantara kita yang akan lebih awal mengeluh, Mengapa Tuhan tak menghapus malam? Entah, satu pesan yang ingin kutitip, sampaikan salamku pada pengemis tua dan seorang anak kecil itu, sekali lagi kuminta pada kalian tolong jangan kalian lupa katakan salamku pada mereka, karena pengalaman mereka aku dapat memerani tokoh karakter naskah teater orang-orang ditikungan jalan. Ingatlah tak ada yang tak mungkin bagi Tuhan, tak ada satu pun dari kita yang bisa menolak, tidak juga aku, kau, ataupun para pengemis itu. Lalu siapa yang mencintai takdir?


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Automotive | Bloggerized by Free Blogger Templates | Hot Deal