"Vio!"
Gadis berkepang dua itu berhenit. Diangkatnya
alis tinggi-tinggi ketika Lukman menghampirinya tergesa-gesa.
“Apa?”
“Aku antar kau, ya?”
Viola tercenung. Lewat ekor matanya, dia dapat
melihat Alvin dan Oca bergandengan masuk ke dalam mobil Alvin. Nyeri lambung
Viola tiba-tiba melihat pemandangan itu.
“Ayolah, kau sudah janji
kemarin,” desak Lukman.
“Aku mesti ketoko buku
dulu. Maaf Luk, aku tidak bisa.”
“Kebetulan. Aku punya
rencana mau ke toko buku. Ayo, kuantar kau ya,” kata Lukman pula, tanpa putus
asa. Viola menarik nafas panjang. Mobil Alvin sudah melaju melewati mereka.
Hati Viola sedih sekali melihat Alvin tidak melirik sedikit pun kearahnya.
Seluruh perhatiannya sudah terpaut pada Oca, anak yang baru pindah itu, pikirnya.
Viola mendadak ingat siapa Lukman. Lukman juga murid baru di kelasnya. Cowok
itu sudah banyak menarik perhatian cewek-cewek kelasnya sejak ia pertama masuk,
persis seperti adik sepupunya itu. Ya, Oca memang adik sepupu Lukman.
“Tidak. Aku bisa pergi
sendiri,” kata Viola.
Kemudian dia melangkah tergesa-gesa, meninggalkan
Lukman yang tertegun menelan kekecewaan. Dia merasa tidak sakit hati dengan
penolakan Viola, karena mengerti mengapa cewek itu berbuat demikian. Di toko
buku, hati Viola jadi sakit lagi. dia tak menyangka sedikit pun akan menjumpai Alvin
dan Oca di sana.
“Hei! Vio. Mau beli buku
juga? Wah, aku kira koleksimu sudah ratusan. Eh Oca, kenalkan nih Si Kutu Buku
sekolah kita. Viola.” Oca segera mengulurkan tangannya. Viola mencoba
tersenyum. Dia agak kaget juga dengan ketenangan Alvin. Dia benar-benar
berpengalaman, bisiknya, di hati. Dan aku benar-benar cewek yang teramat bodoh.
Oca dan Alvin pergi lebih dulu. Viola jadi ingat, ketika Alvin masuk suka jalan
bersamanya. Ah, begitu banyak kenangan manis yang mereka ciptakan bersama.
Itulah sebabnya mengapa aku begitu sulit melupakannya, keluh Viola sambil
membayar bukubuku yang dibelinya di kasir.
“Lukman selalu memperhatikanmu,
selalu menyanyangimu, tapi mengapa kamu tak pernah berlaku ramah di depannya?”
kata Nunik, teman dekatnya.
“Karena itulah aku tak mau
menggubrisnya. Aku tak menyukai perhatiannya itu. Aku tak menyukai pamrihnya,”
kata Viola. Nunik menepuk pipi Viola sambil tersenyum halus.
“Vio antara kau dan Alvin
sudah selesai. Kisah lama itu harus kau tutup. Tidak mungkin kau mesti menutup
diri selamanya. Alvin tidak amat berharga untuk pengorbanan semacam itu.”
Viola berhenti menyusun bukunya sambil menoleh
kepada Nunik. Matanya memancarkan sinar yang amat tajam.
“Barangkali begitu. Tapi
aku merasa, antara aku dan Alvin masih ada sisa perhitungan.” Nunik bergidik
melihat sinar mata Viola. Begitu menakutkan. Karena itu segera digenggamnya
lengan Viola.
“Jangan berbuat nekad, Vio.
Dendam tidak akan menyelesaikan persoalan.” Viola mengangkat bahu. Dan Nunik
tahu, rayuannya sia-sia saja. Viola amat keras dalam pendirian. Sepeninggal
Nunik, Viola membuka laci mejanya. Dikeluarkannya selembar foto dari dalamnya.
Foto Alvin.
“Aku menyukaimu, Al. Amat
menyayangimu, tapi kenapa … ,” keluhnya sambil menitikkan air mata. Sudah empat
bulan mereka berpisah, tapi tetap saja Viola merasa baru kemarin sore Alvin
datang ke hadapannya sambil membawa bunga mawar yang segar itu.
“Maaf, Vio. Tapi seperti
engkau tahu, aku suka berterus-terang. Tidak ada lagi di antara kita yang
pantas kita pertahankan. Aku menyukaimu tapi tak dapat mencintaimu. Engkau
bukan gadis tipe idealku dan …” Viola sudah tidak ingat apa lagi kata Alvin
selanjutnya. Yang dia ingat cuma, Alvin menyerahkan kembang itu, mengecup
keningnya kemudian melarikan mobilnya membelah kegelapan malam. Ketika mereka
berhubungan, banyak teman Viola yang mengingatkan untuk berhati-hati sebab
semua orang tahu siapa Alvin. Vio pun tahu siapa cowok itu, sebetulnya. Itulah
sebabnya dia tidak begitu tertarik ketika Alvin mendekatinya pertama kali. Dia
menduga, pendekatan Alvin hanyalah karena ingin membuktikan pada teman-temannya,
bahwa ia papa bravo nomor wahid karena bisa menundukkan Viola, si
Kutu Buku, debu perpustakaan yang sering digelari patung es. Cukup lama Vio
menguji Alvin. Tapi dasar Alvin berjiwa ulet, dia tak pernah putus asa. Dan
kini … oh, bisik Vio perih. Mengapa penyesalan selalu datang terlambat?
Viola bergegas menaiki anak tangga menuju lantai
dua, tempat dia belajar piano. Ada keengganan menyergap hatinya, karena dia
tahu ada Lukman di sana.
“Ini lagu-lagu yang akan
kalian bawakan. Luk, coba engkau yang pertama,” kata guru mereka, Bu Marta,
memberi kode perintah. Lukman melirik Viola sebelum mulai bermain. Viola
menunduk. Lukman lantas memulai dengan Turkish March. Ibu Marta mengetuk-ngetuk
meja memberi kode waktu. Dua jam lebih mereka habiskan untuk berlatij. Viola
menarik nafas ketika dia sudah kembali berada di luar sekolah.
“Vio.”
Viola melirik. Lukman seperti gelisah di
depannya.
“Apa?”
“Kau akan menolak juga
kalau kuajak ke kantin sana?”
Entah apa yang lucu, Vio jadi tersenyum geli
mendengar pertanyaan Lukman yang polo situ.
“Tidak. Kebetulan aku
memang haus,” kata Viola kemudian. Lukman tersenyum cerah. Tadi dia tak berani
lagi berharap, karena sudah sering ditolak Viola.
“Sori, Luk. Aku
kelihatannya kasar ya? Bukan maksudku begitu,” kata Vio lembut, waktu mereka
sudah duduk di kantin. Lukman menggelengkan kepala.
“Tidak usah kau terangkan,
Vio. Aku sudah mengerti.”
“Trims deh kalau begitu.”
Keheningan yang tadi mencekam mulai mencair
dengan sikap ramah yang ditunjukkan Viola. Kelihatannya dia ingin menghapus
image jelek Lukman atas dirinya. Viola sadar, sikap dingin yang ditunjukkannya
pada Lukman selama ini Cuma didasari rasa dendam yang tak tentu arah. Dia marah
pada Oca, saudara Lukman, tapi tak dapat mencurahkannya langsung kepada gadis
itu. Tetapi Lukman merasa amat bahagia dan hampir tak yakin dengan kenyataan
yang diterimanya sekarang. Viola ternyata sungguh manis dan pintar sekali
membangun percakapan.
“Teman-teman pasti kaget
melihat kita akrab besok di kelas,” kata Lukman ketika mengantar Viola pulang. Viola
mengangguk geli. Selama ini, seperti sudah ada undang-undang tak tertulis, cuma
Lukman Cowok yang tak pernah ditegurnya dengan ramah, sehingga temantemannya menganggap
mereka bermusuhan.
“Ya, apalagi Nunik. Dia
selalu kesal melihatku tak pernah bersikap manis terhadapmu.”
“Aku senang, kita bisa
berteman,” ujar Lukman. Viola menyetujuinya dalam hati. Kelas mereka memang
jadi geger ketika Viola dan Lukman bersama-sama masuk kelas keesokan harinya.
Nunik sampai terbelalak. Viola mengedipkan mata, tapi tak urung dia melirik
juga ke meja Alvin. Cowok itu sedang membaca bukunya dan kelihatan asik betul.
“Apa yang merasuki tubuhmu
sampai rukun betul dengan Lukman?” kata Nunik.
“Oh, tak ada apa-apa. Cuma,
aku saja yang keliru selama ini. Lukman ternyata cukup menyenangkan. Nunik
tersenyum lega.
“Nah, apa kubilang? Lukman
memang pantas untukmu.”
“He jangan berpikir yang
lain. Lukman cuma seorang teman.” Nunik mengangkat tangan tinggi-tinggi, tapi
sudut bibirnya memancarkan senyum yang penuh godaan.
“Ya, ya, dia cuma seorang
teman … istimewa!” Viola terbelalak lebar-lebar, sementara Nunik tertawa-tawa
gembira. Istimewa atau tidak, Lukman ternyata memang seorang teman di kala suka
dan duka bagi Viola.
“Ada film bagus. Kita nonton ya?” ajak Viola suatu ketika. Lukman
tersenyum manis. “Film apa?”
“Film Drama Romantis”.
“Oh, actor ganteng itu toh
yang main? Aku sudah lihat aktingnya dalam Film lain. Bagus! Pertunjukan pukul
berapa?” Viola tertawa senang. Itulah Lukman, yang selalu bersedia diajak ke
mana saja. Selain pintar, dia juga tahu menyenangkan hati.
“Pukul tujuh. Oke?”
“Tunggu saja. Aku jemput!” Viola
kemarin masuk kedalam mobil Lukman, ketika pelajaran usai hari itu. Mereka masih
tertawa membicarakan guru yang konyol di depan kelas tadi, ketika Viola melihat
Alvin jalan sendiri menuju mobilnya tanpa Oca di sisinya. Wajah Alvin tampak murung.
Aneh sekali. Viola jadi tak dapat lagi mendengar cerita Lukman karena benaknya
penuh dengan bayangan Alvin. Kenapa bisa begitu, pikirnya. Alvin yang kukenal
adalah Alvin yang tak pernah sedih, tak pernah mengenal duka dan selalu
menganggap ringan semua masalah. Tapi sekarang ….
“Vio, kau … melamun?” tegur
Lukman.
“Eh, oh, aku …”
“Kau kelihatan pucat. Ada
apa?” sinar mata Lukman memancarkan rasa cemas. Diam-diam Viola mengeluh. Dia
sudah lama tahu, ada perhatian khusus dari Lukman untuknya. Dan dia senang itu,
sebab dia juga menyukai Lukman. Tapi bagaimanapun, dia tak dapat melupakan Alvin.
Yang diimpikannya setiap saat berjalan di sisinya Lukman yang baik, melainkan Alvin
yang memilih Oca dua bulan yang lalu.
“Tidak apa-apa. Trims, Luk.
Sampai nanti ya.”
“Ya, langsung istirahat
saja, Vio. Aku sayang kau,” bisik Lukman. Kemudian melarikan mobilnya. Viola
tercenung, kaget dan akhirnya menyesal. Dia sedih karena tak dapat juga menukar
tempat Alvin di hatinya dengan Lukman, cowok yang baik itu.
“Oca sudah punya pacar yang
lain. Hendri, temannya di club. Alvin tentu saja merasa ditinggalkan begitu,”
lapor Nunik esok harinya di kelas, ketika Viola bertanya mengapa Alvin tak
pernah kelihatan ceria lagi.
“Tahu rasa dia sekarang.
Dia pikir, semua cewek bakal bertekuk lutut di depannya,” sambung Nunik puas.
“Kasihan dia …”
“Eh, kok malah dibela? Dia
kan yang membuatmu tak pernah tersenyum lagi beberapa bulan yang lalu? Dan,
untung ada Lukman kan?”
“Tidak ada hubungannya
dengan Lukman, Nik.” Nunik meloto gemas.
“Kau ini, Vio, selalu saja
menurutkan emosi. Masak untuk Alvin yang sok itu, kau mau melepas Lukman?”
“Ah, kau. Aku menyukai Lukman,
tapi tidak mencintainya, Nik.”
“Oh ya? Dan sekarang, kau
ingi jadi dewi penghibur si kunyuk Alvin ya?” Viola tak pernah mendengar suara
Nunik semarah itu. Nunik pun segera melangkah meninggalkannya setelah berkata
begitu. Viola menarik nafas. Nunik marah sekali, desisnya di hati.
Lukman mengerling kearah Viola. Gadis itu sedang
menunduk menekuni bukunya. Ada ulangan Bahasa Indonesia besok dan mereka
diharuskan mengingat semua definisi gaya bahasa serta gejalanya. Tapi perhatian
Lukman sudah tak pada bukunya lagi sekarang.
“Hei, ada apa di wajahku?”
tegur Viola memukul lengannya. Lukman tersentak dan tersenyum manis.
“Aku suka melihatmu. Kau
cantik sekali.”
“Setan gombal. Aku tidak
ada uang receh nih!” Lukman tergelak. Ditutupnya buku.
“Vio.”
“Hm.”
“Kemarin, kau pergi ke
mana?”
“Renang.” Lukman menekan
dadanya menahan rasa perih yang semakin hebat. Dia tahu,
kenangan manis bersama Alvin di masa dulu, masih
begitu kuat melekat dihati Viola.
“Sendiri?” pancingnya,
seperti tidak sadar akan bahayanya.
“Tidak. Bersama Alvin,”
sahut Viola tenang, sembari membalik bukunya. Padahal jauh di ujung hatinya ada
semacam getaran halus.
“Aku tidak tahu kau akan
kembali pada Alvin,” Lukman berkata dengan hambar. Viola mengangkat mata. Dia
tersenyum lebar. Dan Lukman menatapnya dengan mata sedih.
“Dia mengajakku, Luk.
Karena kebetulan aku tak punya teman kemarin, ya, kuturuti saja.”
“Kau kan bisa mengajakku.”
“Lho, kemarin kau latihan
bola kan?” Lukman menarik nafas jengkel. Viola seolah-olah menganggap remeh
perasaannya.
“Kau pintar cari alas an
sekarang. Enak ya punya serep? Kalau yang satu tak ada di tempat, silahkan ajak
yang lain,” sindir Lukman. Viola mencekal lengan Lukman. Tapi cowok itu
membuang muka. Dia benar-benar tersinggung.
“Kau marah ya, Luk? Maaf,
aku tidak tahu kalau kepergiaanku dengan Alvin membuatmu marah. Tapi, Alvin toh
masih temanku juga, dan dia ….”
“Dan dia kembali
mengincarmu setelah putus dengan Oca. Tidakkah kau rasakan, Vio, bahwa Alvin
cuma ingin mempermainkanmu? Dia tak pernah sungguhsungguh terhadapmu.” Sejuta
jarum halus menusuk jantung Viola mendengar itu. Hatinya sakit sekali.
“Ya, ya, aku tahu, aku ini
bagai pungguk. Aku mengharapkan Alvin akan setia selamanya padaku, tapi
ternyata tidak. Menurutmu, dia cuma ingin main-main. Aku tahu, aku ini cukup
barharga, aku ini ….” Lukman merengkuh bahu Viola.
“Vio, bagiku, tak ada yang
lebih berharga selain dirimu. Tak dapatkah engkau melupakan Alvin dan belajar
menyukaiku?”
“Pulanglah, Luk. Tinggalkan
aku sendiri. Ya, tinggalkan aku sendiri.” Lukman terpana. Ditatapnya Viola,
tapi yang ditemukannya hanya seraut wajah datar tanpa senyum, dingin sekali.
Diam-diam Lukman beringsut pergi, membawa luka dihatinya.
Hari-hari selanjutnya justru menjadi kosong.
Viola juga merasa bahwa Nunik tak mau lagi menghiburnya. Temannya itu amat
marah ketika dia ceritakan pertengkarannya dengan Lukman.
“Terlalu kau! Kau kecewakan
Lukman yang begitu baik padamu! Kau mengharapkan orang lain setia padamu, tapi
kau sendiri? Huh, begitu ada gelagat Alvin akan kembali padamu, kau mulai
menyingkirkan Lukman!”
“Aku … aku tak bermaksud
begitu, Nik. Aku cuma ingin Lukman mengerti, bahwa hanya Alvin yang kurindukan,
dan juga yang selalu kuimpikan.”
“Selamanya kau akan
bermimpi, Vio! Tak cukupkah pengalaman mengajarimu bahwa cowok semacam Alvin
bagai kincir angina dan tak pernah sungguh-sungguh? Jangan keras kepala, Vio!” Dan
Viola memang keras kepala. Meskipun akhirnya dia harus mengakui, semua sikap
manis Alvin akhir-akhir ini cuma kedok cowok itu saja guna menggaet Maria, adik
sepupu Viola yang dikenalnya pada sebuah pesta. Viola mengawasi burung-burung
gereja yang terbang ke atas bumbungan rumah sebelah. Dihelanya nafas. Aku
seperti seekor keledai, bisiknya. Jatuh untuk kedua kalinya, dengan sebab yang
sama dan juga karena ketololanku yang sama ….
Viola mempertajam pendengarannya ketika dia
semakin mendekati ruang piano. Dia kenal betul dengan denting-denting yang khas
itu. Lukman, hanya Lukman yang bisa bermain piano seperti itu.
“Hai, masuklah.” Lukman
berhenti bermain ketika Viola membuka pintu.
“Aku tidak tahu kalau
engkau ada di sini. Bukankah giliranmu besok?”
“Ingatanmu kuat juga, Vio.
Ya, mestinya aku datang besok. Tapi ada perubahan jadwal. Kau malah yang di
minta datang besok,” kata Lukman tenang, seolah-olah sebelum ini mereka pernah
tak bicara untuk beberapa waktu.
“Oh, aku tidak tahu. Kalau
begitu, biar aku pulang saja,” seru Viola sambil menelan kekecewaannya. Tadinya
dia menyangka Lukman datang karena ingin bertemu dengannya. Ternyata …
“Kau mau mendengar laguku?
Aku baru saja selesai menulisnya tadi malam.” Alis Viola terangkat. Dia tidak
tahu kalau Lukman bisa menulis lagu.
“Masih acak-acakan. Tolong
bantu ya.” Viola mengangguk. Dan lagu itu begitu sendu, sehingga Viola hanya
dapat berdiri tegak tanpa memberi komentar apa pun. Lagu itu bagus walau pun di
sana-sini masih ada nada yang fals. Itu biasa, untuk permulaan.
“Apa pendapatmu, Vio?” Viola
tergagap. Dia tak tahu hendak mengatakan apa. Tapi secara keseluruhan lagu itu
cukup bagus.
“Bagus.”
“Itu saja?” tatap Lukman
dengan sinar seperti biasa, lembut dan penuh kasih. Kemudian ditepuknya pipi
gadis itu.
“Kau tidak ingin tahu,
untuk siapa lagu itu?” Viola menggeleng.
“Untuk gadisku,” kata Lukman.
“Oh,” Viola berputar, tak
ingin melihat Lukman dengan matanya yang mulai basah. Dia patut menerima akibat
atas kekerasannya selama ini.
“Vio,” panggil Lukman saat
Viola membuka pintu. Vio menoleh. Dia melihat geraham Lukman mengetat.
“Kau tidak ingin tahu siapa
gadis itu?” seru Lukman jengkel. Viola tersenyum pahit.
“Untuk apa?”
“Persetan untuk apa! Kenapa
kau keras kepala betul, Vio? Kenapa kau kunci seluruh pintu hatimu untukku?
Tidakkah kau punya perasaan? Hampir gila aku berpisah darimu dulu. Hampir aku
mencekik leherku sendirimelihat kau kembali pada Alvin. Sekarang saat kulihat
kau kembali luka oleh bangsat itu, kau tak juga mau mengerti perasaanku!”
“Aku tahu aku salah, Luk.
Tapi tidak usah kau bangkitkan lagi kenangan buruk itu. Kalau kau ingin marah,
silahkan.” Lukman menyambar tasnya sambil memandang Viola tajam. Sia-sia semua
kerja keras ini dilakukannya.
“Oke, selamat tinggal, Vio.
Selamat bermimpi seribu tahun lagi!” Lantas, Lukman membanting pintu. Viola
mengangkat bahu. Dia duduk di depan piano. Aku memang akan bermimpi terus, Luk,
gumamnya sendiri. Tapi sekarang bukan Alvin yang kuimpikan, karena dia adalah
masa lalu. Yang kuimpikan adalah masa depan bersamamu, Luk …
Vio terbeliak melihat huruf-huruf kecil dibawah
kertas lyang tertinggal itu. Di situ Lukman menulis, lagu itu untuk gadisnya
yang tercinta, terkasih dan yang keras kepala: Viola.. Viola segera menerjang
pintu, melompati dua anak tangga sekaligus.
“Lukman!” teriaknya sekuat
tenaga. Lukman baru saja akan membuka pintu mobilnya waktu mendengar teriakan
itu. Viola berlari sambil melambai-lambaikan kertas lagu itu. Lukman
tercengang.
“Ada apa?” desis Lukman
dingin. Viola terengah-engah mencari nafas.
“Kau tadi bertanya padaku
kan?” Lukman mengangguk. Viola tersenyum tipis sambil berjingkat mencium pipi Lukman.
Cowok itu terbelalak.
“Ada pertanyaan lain?” Mula-mula
Lukman terpana, tapi akhirnya dia tertawa tergelak-gelak sambil merangkul Viola
erat-erat.
“Tidak. Tidak ada pertanyaan lagi. semuanya
sudah terjawab.” Viola lega. Ya, semuanya sudah terjawab. Masa lalu telah
ditepiskannya sekarang dan dia bersiap menjalani masa depan bersama Lukman yang
setia.